Kembar Buncing

Kembar Buncing -Kawan budaya Tradisi Nuswantoro kebudayaan atau tradisi sebuah bangsa merupakan sebuah jati diri bangsa. Karena dengan adanya tradisi kita tahu siapa kita sebenarnya dan dari mana kita berasal. Budaya dan tradisi Nusantara atau Nuswantoro sangatlah banyak. Dari segi bahasa pakain kuliner sampai dengan upacara keagamaan ada semua di bumi Nuswantoro ini.Sehingga kami ingin mengajak kawan budaya untuk lebih mengenal Kembar Buncing dan tahu akan lebih banyak tentang seluk beluknya.

Kita wajib untuk mengetahui akan semua itu. Karena kita bangsa yang besar dan Bangsa yang besar selalu menghargai akan budaya dan tradisi serta sejarahnya. Jangan sampai kita tidak tahu tentang Kembar Buncing. Bisa jadi esok atau lusa kita tidak akan pernah mengenal atau melihatnya jika bukan kita yang melestarikan budaya dan tradisi nuswantoro ini.



Untuk menambah wawasan kita tentang budaya dan tradisi nuswantoro berikut artikel yang lainya



Di Bali ada sebuah adat yang unik bila ada penduduk desa melahirkan anak kembar yang berjenis kelamin pria dan wanita atau yang disebut oleh penduduk setempat sebagai kembar buncing. Dulu si orang tua dan bayi kembar buncing ini menurut adat di Bali harus di dipindahkan dari rumah asalnya ke sebuah rumah darurat diatas tanah Banjar Adat yang terletak 800 meter sebelum kuburan, dikarenakan menurut kepercayaan setempat bila yang bersangkutan menolak untuk dipindahkan maka semua penduduk desa akan mendapat kutukan atau memada-mada dari Ratu.

Tidak itu saja, sang orang tua ini pun masih harus menjalani beberapa prosesi adat lainnya demi membendung murka dari sang ratu. Lantas prosesi seperti apa saja yang harus dilalui oleh orang tua sang bayi kembar buncing ini sebelum akhirnya diperbolehkan kembali kerumah miliknya. Kurang lebih inilah penjabaran singkatnya:

Kedua orang tua beserta bayinya diharuskan untuk keluar dari rumahnya dan pindah ke rumah darurat yang berdiri di atas tanah Banjar Adat yang letaknya tepat 800 Meter dari tanah pekuburan selama kurang lebih 3 Bulan, atau sampai yang bersangkutan melihat 3 kali bulan purnama. Selama dalam pengungsian, kedua orang tua sang bayi serta sang bayi sendiri tak diperbolehkan untuk melakukan perjalanan keluar desa. 

Sehari menjelang berakhirnya pengungsian atau pengucilan ini sang orang tua diwajibkan untuk melakukan upacara adat lainnya berupa upacara Pecaruan di Jaba Pura Desa. Dan sehari setelahnya sang orang tua bayi kembar buncing ini pun diharuskan pula melakukan upacara melasti ke laut/segara yang diyakini sebagai pelarungan segala kesialan. Pada upacara inilah si orang tua bayi harus merogoh kocek yang lumayan dalam.

Dan sebagai ritual penutup terhitung sehari seusai melakukan upacara melasti selama 3 hari si orang tua bayi beserta bayinya bersembahyang di tiga Pura Desa yang mempunyai Balai Agung Pegat. Dan seiring berakhirnya masa sembahyang di hari yang ketiga ini maka masa pengasingan ini pun selesai dan yang bersangkutan diperbolehkan kembali ke rumahnya atau melakukan perjalanan ke luar desa. 

Dari penjabaran singkat di atas saja kita tahu bahwa adat ini begitu memakan banyak waktu dan tentu juga biaya yang tak sedikit, makanya sekarang di Bali sendiri adat ini sudah mulai ditinggalkan, terlebih lagi dalam Awig-Awig Desa tak lagi ada bab yang mengatur tentang kembar buncing ini, terlebih lagi melalui PERDA NO. 10 TAHUN 1951, pemerintah Bali secara resmi telah menghapus adat ini. Jadi jika pada masa sekarang masih ada penduduk desa di Bali yang tetap melaksanakan adat ini maka semata-mata hanya untuk pelestarian budaya dan adat warisan leluhur dan bukannya karena takut akan memada-mada dan sebagainya.

Salah satu desa yang masih tetap melaksanakan adat ini adalah desa Padang Bulia, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Kasus terakhir tentang kembar buncing ini dilaksanakan pada tahun 2004 oleh pasangan suami istri bernama Nengah Tarsa (34 th) dengan Ketut Susun (29 TH) yang melahirkan bayi kembar buncing. Dan karena ini semata-mata menjalankan adat warisan budaya maka berbeda dengan dulu, adat ini pun mengalami banyak pelenturan seperti meski dalam masa pengasingan, warga atau tetangga tetap diperbolehkan untuk mendatangi dan bahkan setiap hari/malam penduduk desa dengan suka rela turut menunggui mereka di tempat pengungsiannya. Lebih dari itu baik untuk makan sehari-hari selama di pengasingan maupun biaya upacara adat banyak dibantu oleh penduduk hingga meskipun sedang menjalankan masa pengasingan yang bersangkutan tidak merasa dikucilkan bahkan sebaliknya merasa disayangi.


Trimakasih Kawan budaya telah membaca dan menyimak Kembar Buncing

Indah dan kaya bukan budaya kita ini yang terutama di bumi nuswantoro ini dan semoga dengan hadirnya Kembar Buncing. Dapat membuat kita lebih banggga dan semangat lagi untuk melestarikan dan mengembangkan budaya nuswantoro ini. Ingatlah bahwa budaya kita ini adalah budaya dan peradaban yang luhur jangan sampai kita lengah dan diakui oleh bangsa lain. Salam Budaya Nuswantoro buat kita semua.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kembar Buncing"

Posting Komentar